Artikel Pendidikan

Wacana Nasional Harian Suara Merdeka
11 April 2011
Kevaliditasan Ujian Nasional
  • Oleh Yusuf Hasyim
PELAKSANAAN ujian nasional (UN) 2011 sudah di ambang pintu, untuk tingkat SMA/MA/ SMK dilaksanakan tanggal 18-21 April, SMP/MTs 25-28 April, dan SD/MI 10-12 Mei mendatang. Berdasarkan prosedur operasi standar (POS) yang dikeluarkan BSNP, pelaksanaan UN tahun ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Perbedaan itu antara lain dalam hal kriteria lulusan, ketiadaan ujian ulangan, ketiadaan tim pengawas independen, jumlah paket soal, dan akan diadakannya uji petik di lapangan.

Meski muncul pro-kontra dari kalangan akademisi dan pendidik, UN tetap dilaksanakan dengan alasan bahwa pemerintah perlu mengetahui tingkat pencapaian kompetensi lulusan secara nasional, khususnya pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sebagaimana dijelaskan dalam POS UN bahwa kelulusan peserta didik ditentukan oleh satuan pendidikan berdasarkan rapat dewan guru dengan menggunakan beberapa kriteria. Sebenarnya setiap satuan pendidikan memiliki wewenang penuh untuk meluluskan peserta didiknya, namun pemerintah juga memiliki intervensi penuh untuk mengendalikan sistem tersebut melalui kriteria kelulusan. Pertanyaannya adalah sejauhmana tingkat validitas sistem evaluasi yang dilakukan satuan pendidikan?

Sistem evaluasi pendidikan dengan menggunakan UN model baru pun, ternyata masih memberikan kelonggaran terjadinya kecurangan secara sistemik. Hal ini bisa kita lihat dari sistem penentuan kelulusan yang didasarkan pada rumus nilai akhir = 0,60 x ujian nasional + 0,40 x nilai sekolah.

Nilai sekolah yang berasal dari rata-rata nilai semester satu sampai semester ganjil kelas akhir dan memiliki bobot 40% terhadap kelulusan, masih memungkinkan  terjadinya manipulasi data dari satuan pendidikan.
Meskipun ada uji petik dari panitia pusat untuk menguji validitas nilai sekolah, karena dilaksanakan setelah proses upload data secara online selesai, maka banyak waktu bagi satuan pendidikan (sekolah) untuk mengubah nilai. Manipulasi itu antara lain dengan cara mengganti nilai pada buku rapor dengan buku yang baru.

Ada beberapa alasan yang sering diperbincangkan pihak sekolah untuk melakukan kecurangan sistemik ini. Pertama; hasil UN tidak serta merta menjamin peserta didik bisa melanjutkan ke jenjang berikutnya karena sekolah favorit masih memercayai hasil tes ujian masuk ketimbang hasil UN. Demikian juga ketika siswa ingin melanjutkan ke perguruan tinggi, mereka harus berjuang mati-matian untuk lolos dalam SNMPTN.

Upaya Peningkatan

Kedua; nilai hasil ujian dalam ijazah,  tidak serta merta bisa dijadikan standar masuk ke dunia kerja. Sebagian besar perusahaan menggunakan tes keahlian dan tes kelayakan untuk calon pegawainya. Hal ini menunjukkan bahwa output pendidikan belum mampu menghasilkan calon tenaga kerja yang memiliki kualitas standar.
Ketiga; masyarakat masih berpandangan bahwa kelulusan UN menjadi satu-satunya alat ukur kualitas (prestasi) dari sekolah dan  juga harga diri jika ada peserta didiknya yang tidak lulus. Padahal pada masa lalu, siswa tidak naik kelas, tidak lulus atau mengulang merupakan sesuatu yang lazim.

Keempat; pemerintah belum menemukan sebuah sistem evaluasi yang efektif, terukur, valid, dan komprehensif yang mampu dijadikan standar pencapaian kompetensi siswa secara nasional, baik pada evaluasi proses maupun hasil. Akibatnya masih muncul anggapan bahwa pelaksanaan UN tahunnya hanya formalitas.
Menurunnya kualitas pencapaian kompetensi peserta didik ini dirasakan oleh praktisi pendidikan. Di antara faktor yang berpengaruh adalah belum meratanya kualitas tenaga pendidik dan kependidikan, terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan, lemahnya daya dukung lingkungan dan masyarakat, serta pengaruh globalisasi  dan perkembangan teknologi.

Sebenarnya pemerintah telah melakukan berbagai upaya peningkatan kualitas pendidikan melalui berbagai kebijakan antara lain sertifikasi guru, kualifikasi tenaga pendidik dan kependidikan, program induksi guru, dan sebagainya. Faktanya, implementasi dari kebijakan tersebut masih belum sesuai dengan harapan. (10)

— Yusuf Hasyim SAg MSI, delegasi International Teachers Conference and Educational Exhibition 2011, peneliti manajemen dan kebijakan pendidikan tinggal di Pati






MADRASAH "MENGGUGAT" OTONOMI DAERAH

Oleh : Yusuf Hasyim
(Artikel ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka Senin, 2 Juni 2008)
Otonomi daerah sudah berjalan kurang lebih delapan tahun sejak pemberlakuan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi dengan UU No. 32 Tahun 2004. Banyak harapan adanya perubahan yang lebih baik, tetapi banyak pula kekhawatiran serta tuntutan yang berkembang yang seringkali menimbulkan kontroversi. Perbedaan antar daerah dalam mengimplementasikan kebijakan otonomi daerah masih menimbulkan masalah-masalah baru yang lebih kompleks.
Salah satu contoh adalah masalah kebijakan desentralisasi pendidikan. Dalam bidang pendidikan, desentralisasi bermakna pelimpahan kewenangan seluruh urusan bidang pendidikan dan kebudayaan yang selama ini berada pada pemerintahan pusat beralih pada pemerintahan daerah baik kabupaten maupun kota.
Pemberian otonomi pendidikan yang luas pada lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia merupakan wujud kepedulian pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul dalam masyarakat, selain itu juga sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan secara umum dan dapat juga ditujukan sebagai sarana peningkatan efisiensi pemerataan pendidikan, peran serta masyarakat dan akuntabilitas.
Namun, kenyataan di lapangan masih ditemukan beberapa masalah daerah dalam menerima desentralisasi pendidikan : Pertama, kuantitas dan kualitas Sumber Daya Manusia di beberapa daerah masih belum memadai. Kedua, sarana dan prasarana belum tersedia secara cukup dan layak. Ketiga, Anggaran Pendapatan Asli Daerah (PAD) antar daerah tidak sama. Keempat, secara psikologis, mental daerah belum siap menghadapi sebuah perubahan. Kelima, daerah masih gamang atau takut terhadap upaya-upaya pembaruan.
Di samping itu, desentralisasi pendidikan juga melahirkan kesenjangan kualitas pendidikan antar daerah. Perbedaan mutu pendidikan di masing-masing daerah sangat ditentukan oleh besarnya perhatian pemerintah daerah pada bidang pendidikan, serta dipengaruhi pula oleh kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan sarana dan prasarana, kualitas sumber daya manusia serta pemberdayaan masyarakat.

Posisi Pendidikan Madrasah
Dalam konteks otonomi daerah, posisi pendidikan agama (madrasah) dihadapkan pada dua pilihan yang dilematis-kontroversial apakah masih tetap berada di bawah naungan Departemen Agama (Depag) ataukah menginduk di bawah Pemerintahan Daerah (Departemen Pendidikan Nasional)?
Pada pasal 10 ayat 3 huruf f Undang-Undang Pemerintahan Daerah disebutkan, salah satu urusan pemerintahan yang tidak didesentralisasi ke daerah adalah urusan agama. Hal ini menimbulkan multiinterpretasi pemerintah daerah terhadap kedudukan Pendidikan Agama, yang penyelenggaraannya di bawah naungan Departemen Agama.
Di sisi lain, secara  yuridis madrasah telah diakui sebagai sub sistem pendidikan nasional, sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Konsekuensinya adalah madrasah harus mengikuti satu ukuran yang mengacu kepada sekolah-sekolah pemerintah di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, padahal secara struktural madrasah sebagai sekolah yang bercirikan khas agama Islam berada di bawah naungan Departemen Agama. Dengan demikian terjadi dualisme dalam pembinaan pendidikan antara sekolah (madrasah) yang berada di bawah Departemen Agama dengan sekolah yang berada dibawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dualisme posisi ini berimplikasi pada munculnya kebijakan-kebijakan daerah yang kurang menguntungkan sekolah-sekolah yang berada di bawah Departemen Agama.
Implikasi lainnya adalah munculnya anggapan pemerintah daerah bahwa madrasah tidak menjadi bagian tugasnya karena belum diotonomikan, sedangkan pemerintah pusat mengira jika kebutuhan madrasah juga telah dicukupi oleh daerah sebagaimana mengurus pendidikan di daerah pada umumnya, akhirnya nasib madrasah bertambah sengsara karena tidak ditopang oleh kedua-duanya, baik pusat maupun daerah.
Sikap pemerintah daerah yang diskriminatif di atas, semakin diperparah dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mentri Dalam Negeri (Mendagri), Moh Ma'ruf, tanggal 21 September 2005 No 903/2429/SJ tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2006 yang melarang pemerintah daerah untuk mengalokasikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kepada organisasi vertikal. Konsekuensinya, secara kelembagaan madrasah  yang selama ini berada di bawah koordinasi Departemen Agama termasuk organisasi vertikal karena agama adalah bidang yang tidak diberi kewenangan otonomi.
Seharusnya pemerintah bersikap adil, demokratis dan bertangungjawab terhadap penyelenggaraan pendidikan di Indonesia tanpa harus mendiskriminasikan antara lembaga pendidikan yang berada dalam pengelolaan Departemen Agama maupun yang berada dalam pengelolaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar kebijakan otonomi daerah. Satu hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah adalah bahwa madrasah juga memiliki kontribusi yang cukup besar dalam mencerdaskan anak bangsa, mensukseskan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun, dan secara nyata madrasah juga berperan dalam mengentaskan hajat pendidikan bagi rakyat miskin karena mayoritas siswa madrasah berasal dari ekonomi menegah ke bawah dan di pelosok-pelosok pedesaan.
Angka partisipasi madrasah menempati sekitar 15 persen dari populasi anak sekolah di Indonesia. Kita tidak bisa membayangkan ketika tidak ada pendidikan madrasah, barangkali beban pemerintah di bidang pendidikan akan semakin berat. Hal ini bisa kita lihat bahwa pada umumnya eksistensi madrasah mayoritas adalah lembaga swasta, yaitu 95 persen atau sebanyak 34.300 madrasah. Menurut catatan Departemen Agama, jumlah MI sebanyak 23.517 lembaga, 93 persen diantaranya swasta; MTs sebesar 12.054 lembaga, 90 persen diantaranya swasta; sedangkan MA sebesar 4.687 lembaga, 86 persen diantaranya swasta. Dari angka-angka ini menunjukkan bahwa eksistensi madrasah di Indonesia juga sangat menentukan “merah-putihnya” pendidikan nasional.
Desentralisasi Tanpa Diskriminasi?
Realitas yang terjadi di beberapa daerah mengindikasikan bahwa implementasi otonomi daerah melalui kebijakan-kebijakan pemerintah daerah, secara umum masih belum banyak memperhatikan eksistensi madrasah, baik dalam kebijakan pembinaan pendidikan, anggaran, maupun bantuan sarana dan prasarana. Kita masih sering menjumpai kebijakan-kebijakan yang diskriminatif terhadap madrasah, khususnya berkaitan dengan alokasi anggaran daerah yang tidak mempertimbangkan aspek rasionalisasi anggaran pendidikan dengan jumlah lembaga dan atau jumlah siswa yang berada di bawah pembinaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan lembaga pendidikan yang berada di bawah pembinaan Departemen Agama.
Dalam pengamatan penulis, kebijakan otonomi daerah yang cenderung diskriminatif tersebut disebabkan oleh beberapa faktor; Pertama, karena aturan perundang-undangan otonomi daerah yang dipahami secara sempit oleh pemerintahan daerah Kabupaten/Kota.  Kedua, kurangnya koordinasi antar lembaga-lembaga pemerintah daerah atau antar satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) baik koordinasi internal maupun eksternal dengan Departemen Agama yang membawahi pendidikan madrasah. Ketiga, faktor dominasi politik praktis yang seringkali mempengaruhi kebijakan daerah.
Sebagai contoh, dalam menentukan sasaran bantuan pendidikan atau proyek-proyek pendidikan seringkali tidak menggunakan analisis kebutuhan riil berdasarkan rasionalisasi anggaran dan aspirasi masyarakat, akan tetapi lebih sering ditentukan oleh dominasi partai politik yang menguasai eksekutif maupun legislatif. Bahkan tragisnya bantuan-bantuan pendidikan banyak yang dijadikan sebagai komoditas politik dan bisnis pejabat, lihat saja kasus-kasus pengadaan buku ajar, Dana Alokasi Khusus, Alokasi Ingub, Imbal Swadaya, dan sebagainya.
Maka sudah saatnya kebijakan-kebijakan daerah yang diskriminatif terhadap penyelenggaraan pendidikan tidak lagi terjadi di era reformasi ini. Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas telah mengamanatkan tugas dan tanggung jawab pemerintah untuk memenuhi hajat pendidikan seluruh rakyat Indonesia, tanpa harus pandang bulu dan diskriminatif dalam penyelenggaraan pendidikan. Selanjutnya, Departemen Agama yang dalam hal ini menjadi induk semang madrasah dan Departemen Pendidikan & Kebudayaan yang bertanggung jawab secara langsung terhadap pelaksanaan pendidikan di Indonesia, harus meningkatkan koordinasi dan konsolidasi dalam pengambilan kebijakan-kebijakan pendidikan tanpa "curiga-mencurigai" satu sama lain. Semoga!!

µ Yusuf Hasyim, S.Ag, M.S.I
Penulis adalah Dewan Eksekutif Madrasah Research  & Development Forum (MaRDeF) Jawa Tengah.



Merapuhnya Gerakan Mahasiswa
Oleh : Yusuf Hasyim, S.Ag, M.S.I
Mahasiswa menempati posisi dan peran yang sangat strategis dalam upaya demokratisasi di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari dua perspektif. Pertama, secara psikologis mahasiswa merupakan sekelompok orang yang berada dalam situasi transisi dari masa remaja menuju masa dewasa. Pada masa ini psikologis seseorang berada dalam tahap anomali yang mana dinamika kejiwaannya cenderung menentang norma dan aturan sosial yang ada. Kedua, Secara intelektual mahasiswa berada pada tahap analisis-kritis baik dalam persoalan-persoalan akademis maupun persoalan sosial politik.
Kekuatan dinamika kejiwaan yang didorong oleh kematangan daya intelektualnya akan melahirkan gerakan massif  yang strategis. Sejarah telah membuktikan, bagaimana mahasiswa melalui gerakan-gerakannya mampu berperan aktif dalam perubahan-perubahan sosial dan politik.
Namun, pasca reformasi mahasiswa kembali kehilangan kekuatan revolusionernya sebagaimana terjadi pada dekade tahun 70-an era orde baru. Gerakan mahasiswa pasca reformasi seakan-akan telah kehilangan "ruh kemahasiswaan", merapuh dan terkotak-kotak dalam berbagai kepentingan. Mengapa ini terjadi?


Disorientasi Mahasiswa
Perubahan sosio politik telah mempengaruhi perubahan orientasi mahasiswa dari idealis-kritis ke arah pragmatis-akademis. Penulis melihat paling tidak ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap perubahan orientasi mahasiswa.
Pertama, faktor kebijakan akademis. Sebagai contoh adalah kebijakan Sistem Kredit Semester (SKS), mau tidak mau menuntut mahasiswa untuk lulus tepat waktu dengan Indek Prestasi Cumlaude.
Implikasi kebijakan ini cenderung mengurung mahasiswa untuk aktif kuliah, membaca buku/diktat, menyelesaikan tugas-tugas akademis, dan sebagainya. Ketika mahasiswa aktif dalam organisasi kampus atau kegiatan-kegiatan sosial di luar kampus, maka berakibat pada prestasi akademis yang diperolehnya.
Kebijakan akademis lain yang memiliki andil dalam pengeberian gerakan mahasiswa adalah diterapkannya sistem Drop Out (DO) bagi mahasiswa yang tidak mencapai target waktu kelulusan yang ditentukan oleh perguruan tinggi.
Kedua adalah faktor tuntutan dunia kerja. Globalisasi dan industrialisasi tanpa disadari telah merubah paradigma masyarakat tentang dunia pendidikan. Dalam konteks  industrialisasi, masyarakat banyak yang memandang bahwa dunia pendidikan merupakan wahana untuk menyiapkan calon-calon tenaga kerja (employer) ketimbang sebagai kawah candradimuka bagi dunia intelektual.
Perubahan paradigma masyarakat ini mau tidak mau berimplikasi pada perubahan orientasi dunia pendidikan yang lebih menitikberatkan tuntutan kebutuhan dunia kerja (link and match).
Nampaknya ada indikasi yang signifikan, antara perubahan paradigma masyarakat industri dengan orientasi akademis mahasiswa. Semakin maraknya tuntutan profesionalitas juga telah memaksa kecenderungan mahasiswa untuk tekun belajar di kampus yang berakibat pada semakin melemahnya aksi-aksi sosial.
Kecenderungan tersebut menunjukkan terjadinya disorientasi mahasiswa ke arah pragmatisme-akademis. Mahasiswa tidak lagi memerankan dirinya sebagai agent of social change, agent of democratization,  tetapi  lebih banyak berperan sebagai agent of intelektual and education system.


Lokalitas Gerakan
Faktor lain yang juga menarik untuk dikaji adalah kecenderungan gerakan mahasiswa yang bersifat local yang disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama, kebijakan otonomi daerah. Kebijakan ini telah mendorong terjadinya pelimpahan wewenang dan tugas-tugas pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Dalam bidang pemerintahan terjadi pergeseran penyelenggaraan pemerintahan dari sentralistis ke desentralistis, yang ditandai dengan pemberian otonomi yang luas dan nyata kepada daerah. Sedangkan di dalam bidang pembangunan terjadi perubahan wawasan dari wawasan top down berubah menjadi grassroot.
Kebijakan ini menyebabkan terjadinya perbedaan kebijakan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Dalam konteks gerakan, kebijakan otonomi daerah akan mempersempit ruang gerak mahasiswa untuk melakukan gerakan-gerakan yang bersifat nasional, sehingga mahasiswa lebih banyak dihadapkan secara langsung pada kebijakan-kebijakan yang bersifat lokal kedaerahan dengan mengusung isu-isu yang juga bersifat lokal.
Kedua, kebijakan otonomisasi kampus. Otonomi kampus telah merubah wajah kampus yang dulunya egaliter, elegan, dan merakyat menjadi wajah kampus yang otoriter, elitis, dan cenderung status quo.
Otonomi kampus juga berakibat pada mahalnya biaya pendidikan, ketatnya peraturan-peraturan terhadap aktivitas mahasiswa, dan munculnya elit-elit penguasa baru dunia intelektual. Mahasiswa dimanjakan dengan megahnya fasilitas belajar mengajar, disibukkan dengan aktivitas perkuliahan dan kegiatan-kegiatan kemahasiswaan formal lainnya. Mahasiswa sibuk dengan diskusi dan seminar dalam kampus dan kurang melihat pada dunia riil di luar kampus. Mahasiswa lebih banyak berbicara teori daripada melakukan aksi.
Merapuhnya gerakan mahasiswa ini bisa kita lihat dari rendahnya prosentase gerakan mahasiswa dalam menyikapi isu-isu sosial dan kebijakan-kebijakan publik. mahasiswa seringkali tidak mampu menggulirkan sebuah gerakan menjadi issue yang menasional. Memang, hampir di berbagai daerah muncul gerakan-gerakan mahasiswa, namun gerakan-gerakan itu berdiri sendiri dan tidak mampu merubah kebijakan pemerintah.
Barangkali mahasiswa harus mencari format baru gerakan, agar tidak kehilangan identitas yang selama ini dibanggakan masyarakat. Ayo, Bangkit! Bangkitlah Mahasiswa!!!

µ Yusuf Hasyim, S.Ag, M.SI
Penulis adalah Mantan Ketua Senat Mahasiswa FT Th. 1997-1998,


Tidak ada komentar:

Posting Komentar